08 Oktober 2012

Dosen dari Aktivis Kampus


Tulisan ini sengaja dibuat sebagai bahan renungan dan mungkin menjadi bahan pertimbangan pihak terkait, seiring dengan akan dibukanya lowongan CPNS Dosen pada Juli 2012 oleh pemerintah. Saya bukan ingin men-justifikasi bahwa dosen yang berasal dari aktivis kampus itu lebih baik, atau ingin mengatakan bahwa aktivis kampus itu harus menjadi dosen, atau tidak pula ingin men-generalisasi semuanya menjadi sederhana.

Saya hanya ingin berbagi cerita, bahwa ternyata (berdasarkan pengalaman dan pengamatan pribadi) – para dosen yang dulunya aktivis kampus, terlihat lebih care terhadap masalah-masalah kampus (khususnya kemahasiswaan) dan lebih bijak melihat masalah negeri ini (korupsi, kolusi dan nepotisme).  Saya melihat bahwa; yang gerakannya lebih cekatan, yang interaksi sosialnya lebih cair, yang lebih dekat dengan mahasiswanya, yang kemampuan komunikasinya lebih cakap, yang daya kritisnya lebih kentara, yang kemampuan manajerialnya lebih mumpuni, rata-rata berasal dari komunitas aktivis kampus dulunya.

13418092131265335833Ya, mereka dulunya adalah aktor-aktor gerakan mahasiswa, ada yang di himpunan mahasiswa jurusan, ada yang di senat mahasiswa atau BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa), ada yang di UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa), jabatannya pun beragam: mulai dari ketua, sekjen, koordinator atau staff  biasa, tidak jarang  pula, ada yang dulunya aktif di organisasi ekstra universiter, seperti : KAMMI, HMI, PMII, IMM, dsb. Semasa di kampus, mereka berjibaku dengan segudang aktivitas sosial, mereka tidak egois, dengan hanya belajar untuk semata mengejar IP (Indeks Prestasi) yang tinggi, an sich.

Mereka tahu benar suka dukanya berorganisasi, berdemonstrasi untuk meng-advokasi masalah negeri, berdiskusi dan berdebat dengan birokrasi (dari level jurusan, fakultas, universitas bahkan pejabat negara), mereka bepergian wara-wiri ke kampus lainnya untuk menjalin komunikasi, tak jarang ‘lembur’ menginap di kampus untuk menggarap kegiatan (semisal: OSPEK, bakti sosial, seminar, demonstrasi, dsb) – mereka pun merasakan sulitnya membagi waktu antara studi dan organisasi (bahkan kabarnya, dulu banyak pula aktivis kampus, yg terpaksa harus DO/Drop Out karena “lupa” memikirkan studi). Namun, tidak sedikit dari mereka yang muncul sebagai ‘bintang’ dalam kancah akademik, mereka punya prestasi akademik yang membanggakan, bahkan lebih baik dari teman-temannya yang hanya KP-KP (kuliah pulang-kuliah pulang).

Setelah menjadi dosen, bekas-bekas itu pun tidak hilang, saya melihat mereka (dosen yang aktivis kampus), lebih cekatan untuk mendengar keluh kesah mahasiswa, mau berjibaku secara sukarela dengan berbagai kegiatan mahasiswa (tanpa mengharap tanda tangan honor/transport), siap melayani diskusi untuk sekadar brainstorming terhadap masalah negeri, mau bermalam dan berkumpul bersama dgn mahasiswa (tidak hanya lembur untuk mengerjakan proposal akreditasi atau penelitian kampus), bahkan tak jarang di antara mereka yang rela merogoh kocek pribadinya untuk membantu kesulitan mahasiswa – bahkan yang menjadikan saya haru adalah di antara mereka ada yang membantu biaya SPP dari mahasiswanya yang kesulitan/tidak mampu, SUBHANALLAH….

Ya, menurut saya…..begitulah seyogyanya DOSEN (baca: pendidik), tidak cukup hanya modal PINTAR atau JENIUS saja, tidak hanya cukup berasal dari JEBOLAN PTN (Perguruan Tinggi Negeri) atau PTS (Perguruan Tinggi Swasta) ternama atau pun Kampus Luar Negeri yang hebat, namun mereka PRAGMATIS, CUEK, MISKIN HATI dan tidak peduli dengan kondisi kampusnya, tidak care dengan kesulitan mahasiswanya, apatah lagi masalah negeri ini. Ukuran prestasinya hanya semata karena jumlah penelitian yang dilakukannya, jumlah paper yang ditulisnya, jumlah “materi” yang diterima dari efek profesinya. Wah, sudah begitu banyak “orang pintar negeri” ini yang hanya memikirkan isi perutnya sendiri, tidak peduli thd biaya edukasi yang terus membumbung tinggi yang tidak terjangkau oleh rakyat negeri ini karena semuanya diukur dengan materi atas nama profesi. Model dosen yang seperti ini akan sangat antipati terhadap kritisasi mahasiswa, takut demo atau didemo mahasiswanya, bahkan acapkali muncul lontaran kalimatnya yang bernada SINIS bahkan cenderung MEREMEHKAN: “ngapain sih, kalian mahasiswa demo-demo segala?”, “sudahlah kuliah saja yang benar, rajin saja belum tentu lulus!”, “hei, jangan sok jadi pahlawan ya, emang kalian siapa, emang suara kalian ada yang dengar?”.

Sangat sulit memang bagi para aktivis kampus ini untuk menjelaskan dari A sampai Z kepada dosen yang model begini, mengapa mereka berdemonstrasi (turun ke jalan) dan mengapa mereka berdebat dengan birokrasi tentang masalah negeri. Ya, karena dosen model ini - cukup nyaman dengan kondisinya tanpa harus cape-cape memikirkan yang lainnya, cukup baginya untuk melaksanakan Tri Darma Perguruan Tinggi saja (mengajar yang “baik”, melakukan “penelitian” dan kegiatan “pengabdian masyarakat”). Beberapa aktivis mahasiswa mengeluhkan, “model dosen kayak ini, nggak nyambung-walaupun sudah dijelaskan berkali-kali” atau “mereka, nggak punya hati, kalee….” atau “susah nih dosen diajak ngobrol, nggak gaul sih ketika mahasiswa…!”.

Menurut subjektifitas saya, jika kampus dipenuhi oleh dosen berkarakter seperti ini, saya yakin - lambat laun namun pasti, kampus akan berubah menjadi Laboratorium Pembuat Robot yang mencetak manusia cerdas dengan kemampuan intelektual tinggi, namun miskin hati dan tidak memiliki empati. Boro-boro mendiskusikan ttg negara,  emang gue pikirin !

—————————–
Sumber : Coretan seorang Guru, aktivis Reformasi 1998

0 komentar:

Posting Komentar