Petualangan Alam Liar

Pengalaman akan keindahan ciptaan Tuhan.

Keindahan yang kurasakan

Pergilah untuk meraih impianmu.

Traditional itu KEREN

Kehilangan Budaya adalah kehancuran Bangsa.

Bukan Emosi

Orang yang paling kuat adalah yang mampu menahan amarah.

Perenungan

Perenungan akan kesalahan-kesalah duniawi.

30 Januari 2013

Surat Kaleng Sang Pengecut

Anda dapat terlihat berbeda, ya itulah kata2 yang sering kita dengar di media cetak maupun elektronik. tapi pernahkah anda bertanya apa yang membuat saya bisa berbeda, apakah intelegensi, kemampuan fisik, kemampuan vokal (ciyeee yang vokalis) ataupun yang lain?

Rasanya anda akan terlihat berbeda dengan mengetahui kelebihan anda sendiri. sebuah ironi di tempat yang bernama "KAMPUS" jika anda tidak bisa mengembangkan kelebihan anda tersebut. Pertanyaan yang timbul nantinya akan ada dua "Anda yang tidak bisa mengembangkan" atau "Anda yang tidak mau untuk berkembang". Dua kata tersebut mempunyai arti yang sangat berbeda dalam implementasinya, mengapa?

Kata Tidak Bisa mengandung arti anda putus asa dalam mengembangkan kelebihan, sedangkan Tidak Mau mengandung pengertian "ada potensi tapi anda tidak mau berbuat". Emang sulit untuk menjawab 2 pertanyaan itu karna anda tidak mau masuk dalam salah satu kategori tersebut, karena anda akan terlihat sangat tidak enak atau sangat tidak nyaman dengan kata2 itu. Tapi kalau ditanya "Apa Extensinya jika anda gak mau tidak mau dikatakan seperti itu?".

Saya jadi teringat akan sebuah protes yang dilayangkan mahasiswa pengecut  melalui "Surat Kaleng" media internet (Dunia Jejaring Sosial). Kenapa saya bilang "PENGECUT", ya karena yang bicara adalah manusia, seyogyanya dibicarakan masalah tersebut secara manusiawi pula. Tapi timbul perdebatan lagi, apakah pengguna "Social Networking" itu bukan manusia sehingga berbicara dengan media tersebut "Gak Manusiawi", saya kembalikan lagi "Jika semua permasalahan bangsa bahkan pengadilan tinggi dibicarakan di "Social Networking" dimana letak pemecahan masalahnya?", karena yang selama ini saya lihat dan saya baca di "Social Networking" hanya kata2 negatif bermuatan "Aneh"., Kenapa "Aneh" karena Exixtensinya gak jelas, Siapa orangnya, dimana, buktinya apa, tuntutannya gimna, tujuannya apa, itu semua kadang masih "AMBIGU".

Kembai ke masalah "Surat Kaleng" tersebut, ketika ditanya alasan kenapa harus memilih media tersebut dengan ketidak jelasan "Exixtensinya di Dunia Nyata", dia menjawab "Agar kami aman dari segala tuntutan yang kami terima jika kami lakukan secara "Face to Face", haaaaaaa, "ANEH BANGET" seorang yang menyandang predikat sebagai Mahasiswa yang berdiri di atas Panji2 pembawa perubahan yg kadang mengedepankan "EGO-NYA" dg kata2 itu bisa disimpulkan sendiri kan kalau dia hanya "PENGECUT". Kalau gak mau dikatakan kayak gitu kenapa harus takut akan Konsekuensi dari perbuatan?

Kenapa gak langsung pada pejabat/pihak yang berwenang dengan membusungkan dada siap menerima konsekuensi dan sudah siapkan strategi2 jitu-nya tuk hadapi semua rintangan? sungguh pertanyaan yang akan dijawab dengan 1000 alasan yang justru akan membuat dia semakin terlihat sebagai seorang "PENGECUT".

Kalau mental ini yang tertanam jauh di dalam benak seorang yang menyandang Predikat sebagai "MAHASISWA" gimana dia bisa mengembangkan "POTENSINYA"? Kebanyakan hanya mencari "kambing hitam" dalam setiap permasalahan, bukannya mencari solusi sebagai cara kita memperlihatkan "Exixstensi" kita dalam mengembangkan Keilmuan. Kalau ditanya "Apa Solusi yang Bisa anda tawarkan, eh malah dijawab "Masalah itu tidak datang bersama solusi, masak ada mengandung dan melahirkan bersama-sama?", coba anda pikir kata2 itu, orang yg mendengar/melihat sebuah permasalahan sehingga dijadikan sebuah masalah, lalu anda hanya "Diam" membiarkan masalah dengan alasan tersebut, bukankah masalah itu udah tahu, kenapa gak cari solusinya daripada "Gedabrus ngalor-ngidul" gak jelas, bukannya masalah selesai tapi malah berlarut-larut. Kalau gak bisa nyari solusinya berarti "Predikat Mahasiswa Pembawa Perubahan" kan dipertanyakan, apanya yg berubah jika hanya diam melihat permasalahan yang ada, pinter kritik tok tapi dikritik gak mau "Mahasiswa yang ANEH".

Bagaimana bisa mengembangkan Kelebihannya, jika nyari solusi permasalahan aja gak bisa, cuma bisa omong besar doang, Kata temenku seh "SIAL bener tuh orang", ya bener men, "SIAL" karena dia udah nunjukkan "KEBODOHANNYA dan KETIDAKMAMPUANNYA" di depan khalayak ramai. Sungguh IRONI jika para Mahasiswa sang "Pembawa Perubahan" hanya bisae gto doang (OMONG BESAR), gto katae mau kayak Mahasiswa angkatan "-97" yang ngejatuhin "rezim Soeharto", haaaaaiiii , heeelllloooooa, apanya yang mau lo jatuhin dengan "MENTAL PENGECUT" lo lewat "SURAT KALENG"??????????

29 Januari 2013

Mendengar untuk Didengar

Setiap manusia memang unik dengan berbagai macam karakter dan sifatnya. Setiap karakter dan sifat tersebut tentunya tak hanya dipengaruhi oleh gen-gen pembawa sifat gabungan dari kedua orang tuanya, tapi juga dipengaruhi oleh lingungan tempat seseorang tumbuh dibesarkan. Segalanya melalui sebuah proses pembelajaran. Dan tahukah bahwa awal dari sebuah proses belajar adalah melalui kegiatan mendengar ?

Saya mendapatkan inspirasi ini dari seorang dosen yang sedang mengajar di kelas pada suatu hari. Beliau mengomentari perilaku mahasiswanya yang selalu ngebut mencatat segala sesuatu yang ditampilkan di transparasi OHP-nya sebelum mengetahui apa yang sebenarnya mereka catat.

“Mahasiswa Indonesia zaman sekarang itu kalau diberi kuliah mesti sibuk untuk ngebut mencatat apa yang ditampilkan sebelum tahu penjelasannya. Padahal tulisan yang di depan itu juga gak akan lari kemana-mana kok. Seharusnya dengarkan dulu penjelasannya, kalian mengerti dulu isinya, baru dicatat… Kalau ada yang kurang, di akhir kuliah kan kalian bisa minta kopian materinya.”

Ya, mendengarkan terlebih dahulu. Masih di kuliah yang sama, beliau mengingatka kami tentang pentingnya proses mendengarkan.

“Belajarlah seperti bayi yang baru lahir. Awalnya dia tak tahu dan tak bisa apa-apa. Beberapa minggu kemudian, di mulai mencari sumber suara orang-orang di sekitarnya. Barulah beberapa minggu kemudian, dia akan mengenali berbagai macam warna yang mencolok di sekelilingnya. Belajarlah seperti bayi. Mulailah prosesnya dengan mendengarkan.”

Sejak bayi kegiatan mendengar menjadi penting untuk proses belajar kita. Pada orang yang diberi anugerah pendengaran yang normal biasanya kegiatan pembelajaran menjadi lebih mudah, namun bagi sebagian orang yang istimewa karena adanya kerusakan organ pendengarannya, proses belajar seperi berbicara dan komunikasi biasanya terhambat.

Contoh lain adalah ketika kita belajar membaca alfabeth atau huruf hijaiyah saat usia kanak-kanak dulu. Biasanya guru yang mengajarkannya mengucapkan cara melafadzkan huruf alfabeth atau hijaiyahnya bersamaan denga menunjukkan bentuk hurufnya. Tanpa proses mendengar, tentunya belajar membaca pun akan rumit.

Mendengar merupakan sebuah proses bergetarnya gendang telinga oleh gelombang bunyi kemudian diteruskan oleh tulang dan saraf pendengaran lainnya ditelinga, yang akhirnya akan diterima oleh otak. Di otak informasi yang berupa gelombang tadi diproses dan diterjemahkan sehingga manusia dapat menerima berbagai informasi yang ada. Proses selanjutnya adalah menyaring apa yang dianggap penting dan tidak penting, lalu dilanjutkan oleh proses memahami informasi penting tersebut.

Orang bijak berkata : Mendengarlah untuk didengar. Karena dengan proses mendengar itu kita belajar terlebih dahulu untuk mengetahui permasalahan yang ada. Dengan mendengar yang kemudian dilanjutkan dengan proses memahami, maka kita akan lebih bijak untuk melakukan berbagai hal.

Dengan mendengarkan orang lain berbicara lebih dahulu, kita pun belajar untuk berbicara. Maka dengan menjadi pendengar yang baik, yakinlah suatu saat kita bisa menjadi pembicara yang baik yang akan didengar oleh orang lain.

Maka mulailah segala proses belajar kita seperti bayi yang baru lahir, dengan mendengarkan, maka kita pun akan didengarkan.

From: Ratu Anisa

27 Januari 2013

Mendengar VS Didengar

Tidak semua yang bertelinga
bisa mendengar
Tidak semua yang mendengar
bisa mengerti
Tidak semua yang mengerti
bisa memahami
Tidak semua yang memahami
bisa berempati
Tidak semua yang berempati
bisa beraksi
Tidak semua yang beraksi
bisa mengevaluasi


Mendengar adalah perkara yang sangat gampang bagi orang normal, segampang memejamkan mata dan membukanya kembali. Hanya butuh telinga dan bunyi, maka apa yang disebut mendengar sudah dilakukan. Mendengar hanyalah proses bergetarnya gendang telinga dan mengantarkan stimulus ke otak. Sangat biologis. Selesai sampai disitu ? Tidak juga.

Mendengar juga adalah proses menyaring. Dalam satu detik kita terpapar ribuan stimulus dan informasi yang masuk melalui indera pendengaran. Dan dalam satu detik itu juga, kita bisa menentukan informasi mana yang kita pilih untuk didengarkan. Itulah penyaringan tidak sadar yang dilakukan diri kita atas perintah otak. Tak terbayangkan bahwa semua informasi itu masuk dan diproses di otak secara optimal. Jika itu yang terjadi, dalam hitungan menit otak kita akan kelebihan beban pemrosesan.

Tidak semua yang kita dengar bisa kita mengerti. Oleh proses penyaringan itu hal-hal yang tidak perlu kita dengarkan kita abaikan begitu saja. Kita memilih dari sekian banyak informasi itu mana yang INGIN kita dengar. Proses penyaringan itu juga bersifat sadar dengan mengikutsertakan keinginan kita untuk mendengar apa yang ingin didengarkan. Apa yang menurut kita penting untuk didengar maka itulah yang didengar dan diproses, sementara yang lain diabaikan. Seandainya pun diproses maka pemrosesan itu hanyalah pada tingkat terendah di otak.

Hal yang sulit dari mendengar adalah ketika proses selanjutnya hanya berhenti pada mendengar belaka. Orang yang mengerti apa yang didengar belum tentu memahaminya. Paham memang membutuhkan kerja yang lebih lagi dari seorang manusia. Selain melibatkan otak, juga melibatkan aspek kepribadian yang lain.

Dan orang yang telah melewati proses pemahaman, belum tentu juga mampu berempati terhadap apa yang telah dipahaminya. Empati membutuhkan kepekaan dan kecerdasan emosi untuk berada di pihak lain tanpa tercebur ke dalamnya. Dan yang berempati belum tentu juga mampu untuk melakukan aksi dan tindakan. Aksi dan tindakan membutuhkan kemampuan yang lain yang lebih dari sekedar empati.

Tetapi YANG PALING SULIT dari proses mendengar adalah : “mendengar dan bukan hanya didengar”. Setiap orang normal pasti bisa mendengar. Tapi mendengar menjadi sulit ketika seseorang hanya mau didengar dan tidak mau mendengar. Didengar oleh orang lain memang enak dan bagi sebagian orang penting. Mendengarkan suara orang lain menjadi masalah yang sulit ketika kita tidak membuka ruang dalam diri kita untuk memberikan orang lain menyampaikan apa yang dipikirkannya.

Masalah “mendengar dan didengar” bukanlah di telinga. Dia ada disini, di diri ini : Apakah “ruang” itu telah terbuka untuk mendengar daripada hanya didengar ? Sulit memang.

Mendengar memang bukan hanya butuh telinga. Dia butuh otak, butuh hati, butuh emosi, butuh empati, butuh aksi, dan juga butuh “ruang lain” dalam diri. Sesuatu yang kelihatannya sederhana bisa saja berujung kerumitan dan kesulitan.

Mari Mendengar….

21 Januari 2013

Birokrasi Kampus dan Independensi Mahasiswa


Oleh : Dedy Hutajulu


Belakangan ini, saya sering mendengar keluhan dari kawan-kawan mahasiswa soal lambannya kinerja birokrasi. Mereka mengatakan ke saya bahwa kampus makin mencengkeram kebebasan mahasiswa. Memprihatinkan sekali!

Teman saya dengan wajah geram datang ke saya. Dengan meledak-ledak, ia bilang ke saya bahwa dosennya minta uang supaya mereka diberi nilai “A” padahal dosennya itu nyaris tidak mengajar selama satu semester, meski si dosen sudah teken kontrak kuliah. Katanya lagi, banyak juga dosennya  yang tidak terampil mengajar dan jarang sekali ditemukan dosen yang mampu mendesain perkuliahan dimana mahasiswanya terdorong untuk belajar konsisten. Tapi suka membentak-bentak. Tak sedikit pula dosen yang membiarkan mahasiswanya mencontek baik pengerjaan tugas maupun ketika ujian. Rasanya tak ada keseriusan dosen memberantas  penyakit mencontek ini. Begitulah.

Berkelitnya birokrasi memaksa para mahasiswa takluk pada situasi. Birokrasi menempatkan mahasiswa pada posisi serba salah. Dengan segala adikuasanya, birokrasi kukuh menjatuhkan mental mahasiswa sampai ke titik dasar.  Tampaknya, selalu ada celah yang bisa dimanfaatkan si dosen untuk memanfaatkan anak didiknya itu.

Aikh, tiga belas tahun reformasi telah bergulir, tapi mentalitas penguasa tak kunjung berubah menjadi lebih baik. Malah, lebih jahat.

Itu sebabnya kenapa lebih dari separuh mahasiswa masih menganggap bahwa birokrasi penyebab inefisiensi. Anggapan itu muncul sebagai kristalisasi kekecewaan atau kekesalan mahasiswa saat berurusan dengan birokrasi kampus. Hal-hal kecil yang seyogiyanya bisa dikerjakan dengan cepat, tetapi tak bisa diraih, lantaran sistem birokrasi yang menuntut ini dan itu, minta ini minta itu.

Supaya tidak termarjinalkan, tak jarang jalan berliku, berkelok-kelok dan menjemukan mesti dipatuhi. Sepertinya kecanggihan teknologi tak berbanding lurus dengan produktivitas para birokrat kampus. Bahkan, rasanya inisiatif mati suri di zona birokrasi. Terbukti, sistem departementalisme, mental feodal, kebiasaan menunda pekerjaan, sikap mengulur-ulur waktu, serta penggunaan banyak formulir yang serba legal-formal sangat banyak ditekankan.

Kejenuhan yang mencapai klimaksnya membuat mahasiswa mudah menyerah. Apalagi di era kini, saat luapan informasi dan akses teknologi begitu cepat mendorong mahasiswa memilih jalan pintas. Memang, kondisi ini tak bisa ditolerir.

Dalam keadaan seperti ini, gerakan mahasiswa kritis diharapkan menjadi dewa penyelamat bagi kampus. Sayangnya, kegerakan mahasiswa seperti hilang dari peredaran. Nyali mahasiswa mudah ciut saat berhadap-muka dengan birokrasi. Sejumlah ide kreatif serta mekanisme pergerakan mudah patah hanya lantaran tak kuasa menghadapi  “tatapan mata” penguasa kampus (birokrat). Kuantitas mahasiswa yang begitu besar tidak berbanding lurus dengan kekuatan dan daya juang untuk membawa perubahan.

Gerakan gerakan mahasiswa yang dulu kerap meramaikan kampus kini seperti  ditelan zaman. Isu perubahan yang biasa diusung mahasiswa kini tak lagi bisa diharap. Mahasiswa terbuai dan larut berfesbuk-ria dan ber-game online. Corong-corong penyalur aspirasi seperti UKM, Senat mahasiswa, dll telah kaku, beku, dan lapuk. Gerakan mahasiswa telah kehilangan kesadarannya.

Faktanya, ketakberdayaan mahasiswa menghadapi birokrasi seperti tak terbendung. Tak pelak, jika akhirnya mahasiswa cepat takluk kepada birokrasi yang selalu melemahkan dan melelahkan, karena kerap disalahgunakan oleh aparatur birokrasi yang merugikan masyarakat kampus.

Pertanyaannya, mengapa hal itu bisa terus terjadi? Mungkinkah masalah ini terpecahkan? Apa langkah kita? Sejumlah pertanyaan ini menjadi teka-teki bagi kampus.

Kondisi kampus yang memprihatinkan, memberi isyarat bahwa kajian birokrasi menjadi sangat penting bagi kampus yang sedang menjalani proses berkembang. Maka, kajian birokrasi semakin penting bagi setiap mereka yang sedang terlibat di kampus. Sebab, mahasiswa hanya akan diperalat bila tak memahami keadaan birokrasi kampus yang sesungguhya. Mereka akan menjadi alat ‘penguasa kampus’ untuk melanggengkan kekuasaannya. Jadi, amat perlu memahami birokrasi sebaik dan sesegera mungkin
.
Menyoal Independensi Mahasiswa

            Mencermati rasa takut mahasiswa yang berlebihan itu, bahkan merasa seperti terbungkam dengan rasa segan memenuhi ubun-ubun sehingga tak mampu berkata apa-apa ketika berhadapan muka sama muka dengan birokrat. Ini membuktikan bahwa mahasiswa masih dipandang sebelah mata. Keadaan ini terjadi karena mahasiswa tidak menyadari bahwa mereka kaum independen.

Independensi berarti bebas. Bisa dikatakan bahwa independensi adalah sikap dimana mahasiswa bebas dari cengkeraman birokrat. Dalam arti, mahasiswa punya kebebasan berpikir dan berkreasi. Ide atau gagasan mahasiswa tidak boleh ditundukkan oleh gelar atau jabatan para birokrat. Tetapi sebaliknya, kehadiran para birokrat semestinya menjadi pendorong sekaligus pemberi semangat bagi yang muda untuk berkarya dan mengembangkan sayap.

            Mahasiswa harus bisa melihat dirinya jauh lebih dalam sampai ia menyadari bahwa dirinya adalah  kaum intelek sekaligus agen perubahan. Dengan bermodalkan kecerdasan, kreativitas, serta militansi, posisi mahasiswa begitu kencang membawa angin perubahan. Sayangnya, ketiga poin itu runtuh seketika. Kekuatan itu justru terkunci, bahkan rontok digusur rasa takut ketika independensi mahasiswa dikesampingkan.

Indepensi bukan sekedar bebas berekspresi fisik. Tetapi, pada tataran pikiran kebebasan itu patut dinikmati. Kebebasan memeliharakan pikiran dengan membiasakannya seliar mungkin  melanglang buana mencari gagasan harus dipelihara. Dan hal itu perlu disadari oleh semua orang, termasuk birokrasi. Karena tanpa pengakuan atas indepensi mahasiswa, harapan perubahan sulit diwujudkan. Sebab mahasiswa adalah insan kreatif yang butuh berekspresi.

            Lantas, bagaimana menganulir cengkraman kampus itu? Jawabanya: Kita perlu sadar. Tanpa kesadaran diri, gerak perubahan yang dikerjakan hanya asal-asalan. Dan kesadaran itu perlu dibangun secara kolektif. Karena tanpa kesadaran kolektif, kekuatan pergerakan tidak memiliki greget. Ujung-ujungnya bisa  kandas di tengah jalan.

Tindakan Strategis dan Dinamika Kampus

Kita perlu berbenah diri. Tindakan strategis perlu dirancang sebagai modal pergerakan. Maka penguatan diri adalah keniscayaan. Penguatan bisa dimulai dengan jalan membangun kelompok mahasiswa yang strategis. Kelompok mahasiswa yang strategis dikukuh sikap militansi di satu sisi dan kemampuan mengorganisir  gerakan di sisi lain. Kelompok strategis ini terbentuk dalam suatu aliansi yang diikat oleh kepentingan-kepentingan bersama, yaitu mewujudkan birokrasi kampus yang sehat, yang mengedepankan nasib mahasiswa.

Mahasiswa harus memandang bahwa birokrasi adalah alat jitu untuk memperluas praktek demokrasi. Sebab birokrasi adalah media pengembang demokrasi. Ia bisa berfungsi sebagai jembatan bagi pelaksanaan setiap kebijakan-kebijakan administratif dari penguasa dengan aspirasi rakyat. Asal kita (mahasiswa) mampu mengontrol jalannya demokrasi kampus secara progres. Tergantung sifat birokrasi yang dibangun itu, apakah mengedepankan sifat keterbukaan atau serba tertutup? Keadaan ini perlu dicermati.

Maka dari itu, perilaku birokrasi yang menyimpang perlu dikritik demi arah perbaikan. Titik berat pemberian kritikan harus ditakar sesuai kadar penyimpangan itu sendiri. Kritik sifatnya membangun. Dan tujuannya tidak boleh sampai melenceng supaya, kritikan itu mendapat tempat yang tepat di hati birokrasi.

Dengan kontrol yang tepat pada birokrasi, kita  sebenarnya sedang mengupayakan agar ia berada pada posisi yang tepat sebagai pelayan masyarakat kampus. Bekerja sesuai fungsi dan tidak dibawah kendali dominan birokrat, tidak juga kurang mendapat perhatian dari mahasiswa. Model birokrasi adaptif  perlu dibangun dengan sungguh-sungguh.

Perlu juga dicermati, jika kontrol terhadap kampus rendah maka korupsi semakin subur, bangunan pendidikan rapuh, dan nepotisme merajalela. Korupsi dan nepotisme biasanya terdapat pada setiap aktivitas birokrasi dan kebanyakan terjadi di sistem yang lemah dari perhatian orang.

Oleh karena itu, Mari, sebagai mahasiswa sadari bahwa kita punya independensi. Yang perlu kita cermati, independensi yang kita miliki perlu diimbangi dengan kemampuan yang memadai, kualitas yang cemerlang dan militansi yang tinggi supaya kita tidak dipandang sebelah mata. Yang pada akhirnya, masyarakat kampus bisa merasakan dampak kehadiran kita di kampus dan di masyarakat.