Petualangan Alam Liar

Pengalaman akan keindahan ciptaan Tuhan.

Keindahan yang kurasakan

Pergilah untuk meraih impianmu.

Traditional itu KEREN

Kehilangan Budaya adalah kehancuran Bangsa.

Bukan Emosi

Orang yang paling kuat adalah yang mampu menahan amarah.

Perenungan

Perenungan akan kesalahan-kesalah duniawi.

19 Agustus 2012

Selembar Kritik, dari Kami, MAHASISWA

Mahasiswa, selalu menghadirkan suasana dimana emosi mudah sekali bergejolak. Rupanya semangat muda, yang seperti yang dikatakan bang Rhoma, masa yang berapi-api, yang memotivasi para pemuda, para pejuang berjiwa muda, yakni para mahasiswa untuk menyeru kepada turunya keadian bagi negeri ini. dinamika perkampusan yang sarat akan demokrasi memberi ruang bagi para mahasiswa untuk melakukan hal semacam itu. Tidak salah memang, apalagi yang terjadi di fakultas yang sangat kental akan budaya “memberontak”, yang pembidangan studi nya memang mengarah pada aksi-asi demonstratif.

Berita duka tersiar dari tanah betawi, Jakarta. Kali ini menghadirkan cerita pilu bagi mahasiswa, dan juga barangkali keseluruhan yang merasakanya secara pribadi. Beberapa organisasi mahasiswa mungkin bisa mencermati. Khususnya para aktivis pergerakan mahasiswa yang tidak pernah surut melancarkan gelombang penyuaraan atas ketidakadilan dan kesewenang-wenangan yang terjadi di negeri ini.

Sondang hutalagung, begitulah namanya. Dia merupakan mahasiswa dari salah satu unversitas swasta di Jakarta. Tidak ada yang istimewa dan tidak terdapat hal-hal yang membuat seantero heboh kecuali tindakan konyolnya beberapa waktu lalu yang mengguncang surat kabar. Sebagaimana para aktivis kampus yang sering berupaya turun ke jalan untuk melancarkan aksi protes, khususnya ditujukan kepada pemerintah yang dinilai gagal dalam melaksanakan fungsi utamanya, sondang pun begitu.

Tidak ada yang berani tutup bicara dan tetap tinggal diam saat ada ketidakberesan situasi yang ada, khususnya pada ranah politik kekuasaan, dimana pemerintah selalu tersandung didalamnya. Aksi-aksi yang dilakukan, semisal mengadakan parade motor dengan mengenakan atribut organisasi mahasiswa tertentu sambil berorasi yang intinya merupakan kritik sosial-politik terhadap para legislatif-eksekutif,yang marak terjadi di setiap kampus manapun di tanah air, sudah tidak merupakan sesuatu yang baru. Masyarakat juga tidak heran lagi, banyak yang memaklumi, begitu pula pemerintah.

Para mahasiswa, berangkat dengan keyakinan tinggi, didasari atas keinginan mereka untuk mengambil sikap terhadap segala problematika yang ada dengan segala pengerahan daya mereka. Mahasiswa militan, sebutlah seperti itu, tentu tidak serta merta langsung terjun ke lapangan tanpa memiliki pandangan apa-apa tentang negeri ini, tetapi, yang menggerakkan mereka adalah motivasi yang terus memacu demi tercapainya kesetaraan yang ideal bagi negeri ini, yaitu keadilan. Ini bukanlah persoalan apakah mereka merupakan golongan “kiri”, kanan ataupun tengah, tetapi lihatlah perjuangan mereka dalam usahanya memperjuangkan yang terbaik untuk semangat perubahan, untuk rakyat Indonesia, semangat mereka ibarat derita jeritan lelah para petani yang semakin dihancurkan keberadaan mata pencaharianya oleh produk-produk impor. Perubahan, sejatinya adalah cita-cita luhur yang sedang diperjungkan oleh idealisme yang dimiliki oleh para mahasiswa,sebab itu yang membuat mereka berani untuk berjejal sesak turun ke jalanan, berdesak-dessakan dan berhadapan langsung dengan aparat kepolisian yang notabene bersenjata lengkap.

Tidak usah diambil pusing, toh pemerintah sepanjang dekade,selalu dapat meredam aksi unjuk rasa mahasiswa, dimana terdapat pengecualian ketika reformasi itu pecah. Mereka memiliki akses utama dalam kekuasaan, jadi apapun bisa diupayakan, terutama keuntungan tersebut mereka pergunakan sedemikian rupa dalam menangani pengganggu tempat nyaman mereka, yaitu para mahasiswa. Salah satunya, dengan memasang para aparat kepolisian di lini-lini tempat demonstrasi itu pecah. Cukup dengan menggerakan penegak hukum tersebut dan menyediakan: pentungan,tameng, dan senjata yang diformulasikan khusus untuk menyambut datangnya aksi dan meredam tekanan para demonstran. Gampangnya yang diperbuat pemerintah ketika aksi yang ditujukan kepadanya itu pech, maka santai sejenak di dalam gedung, lakukan apa yang benar-benar enak untuk dikerjakan, mengopi, surfing internet, atau santai sejenak menikmati surat kabar. Biarlah mereka yang menghabiskan waktu mereka di luar dengan mencaci-maki para pejabat yang sangat nyaman sekali menikmati hidup. Lepaskan mereka, maka nanti aksi mereka akan dengan sendirinya terhenti saking telah capeknya berorasi dengan menguras banyak energi dan menghasilkan suara itu menjadi serak, setelah itu, pasti tanpa dikomando mereka akan bubar,selesai pula tuntutan yang mereka lakukan seiring dengan berhentinya aksi unjuk rasa yang mereka lakukan.

Mudah sekali, laksana ikan yang sedang megap-megap tetapi tidak diindahkan sampai akhirnya mati khabisan nafas. Lantas, seperti itulah kurang lebih sedikit “tanggapan” yang berkenan direspon oleh pihak birokrasi terhadap demonstrasi keras para mahasiswa. Kekecewaan tersebut juga terjadi saat sondang dan kawan-kawanya yang lain, melakukan aksi unjukf rasa di depan Istana Negara, pada Rabu(7/12). Mereka barangkali berharap, protes mereka yang diarahkan langsung menuju pemimpin tertinggi NKRI, dapat selayaknya memperleh tanggapan dari pihak istana, dengan salah satu menteri nya yang langsung keluar menemui para pengunjuk rasa tersebut, atau kalau sempat, pak presiden sendiri yang muncul langsung dan mendengar keluhan mereka tentang situasi sebenarnya negeri ini. tetapi yang jadi pertanyaan, apakah mungkin? Jawaban logisnya tentu : tidak. Maka, dengan dengan penuh amarah sondang membiarkan sekujur tubuhnya dilalap api, dia membakar diri. Bahkan,mahasiswa, sebagai golngan yang dipandang terpelajar sekalipun, terdapat sesosok, yang rela menghilangkan nyawanya dengan cara membakar diri.

Memang,silahkan nilai sendiri, ini tindakan bodoh,konyol, tidak masuk akal, atau semacamnya. Yang jelas, tidak mungkin seseorang bertindak jauh diluar batas kewajaran jika tidak ada alasan logis yang menyertainya? Tidak ada yang bisa menentukan kesalahan siapaah sebetulnya ini. bisa dibilang, sondang telah berputus-asa, dan membakar dirinya sebagai bentuk frustasi terhadap apa yang sekarang benar-benar terjadi. Lalu, sampai kapan drama yang diperagakan, pemerintah memainkan lakon sebagai tokoh antagonis yang tidak pernah sekalipun bnar-benar menggubris tuntutan para mahasiswa,apakah pemerintah menunggu sampai ada aksi bakar diri yang lebih masif lagi? Kami terus berdiri, walaupun tidak semua dari kami mengambil bagian dalam setiap demonstrasi di lapangan, di sisi lain kami ,para mahasiswa, terus gencar melakukan gerakan-gerakan lewat media, kami semua tidak akan berhenti untuk terus berupaya, yang dimana pada hakikatnya, kami semua butuh keadilan!

08 Agustus 2012

Mahasiswa dalam Rangkulan Politik dan Birokrasi


MASIH ingatkah bagaimana perjuangan mahasiswa meruntuhkan rejim Soeharto, ditengah era reformasi yang menggeliat. Pre­siden seumur hidup itu berhasil ditumbangkan oleh sang orator ulung pada tahun1998, siapa lagi kalau bukan mahasiswa. Terlihat jelas, ketika rezim Soekarno yang menerapkan pemerintahan militerisasi sa­ngat menekan kehidupan rakyat.

Bermula dari situlah gerakan mahasiswa yang tanpa hentinya melakukan presure demi persure untuk mengahantam setiap kebijakan yang keluar dari mulut bapak pembangunan itu. Bahkan, untuk menuju ideologi yang mereka tuntut, tak jarang drama bentrok kerap mereka pertontonkan, nyawa mereka pun terkadang menjadi korban tatkala lawan tak memakai hati lagi.

Perjuang mahasiswa kala itu, masih dapat diacungkan jempol. Rakyat masih menilai positif gerakan mahasiswa sebagai agen of change dan social of control. Terlalu ba­nyak catatan heroik yang ditorehkan oleh para mahasiswa atau pemuda Indonesia kala itu dalam perjuangannya menepaki negara ini kearah yang lebih baik.

Sekadar mencoba menyegarkan ingatan kita, terkait gerakan mahasiswa/pemuda yang telah mencatatkan dirinya dalam sejarah. Dalam buku “Mempersiapkan Generasi Baru : Investasi Jangka Panjang Pembangunan Sulawesi Selatan” terjelaskan bahwa rentetan perjuangan pergerakan pemuda dimulai sejak tahun 1908 yang dilakukan oleh kaum muda terpelajar dalam kelompok studi Budi Utomo, dilanjutkan pada tahun 1928 melalui pendeklarasian Sumpah Pemuda, sampai pada tujuan akhir pergerakan untuk memproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945. Lalu kembali menumbangkan kekuasaan Orde Lama yang memberlakukan demokrasi terpimpin dan penyelewengan terhadap ideologi negara. Maka terjadilah reposisi zaman, dari Orde lama menjadi Orde Baru. Hingga Pergerakan mahasiswa yang secara massif tidak bisa dibendung lagi, Orde Baru pun ikut tumbang, meski telah berkuasa selama 32 tahun.

Jika kita melirik dari perjuangan mahasiswa sebelumnya, tentu status mahasiswa sebagai kaum intelektual sangatlah diagung-agungkan. Hanya saja, masa lalu tetap menjadi sesuatu yang tak akan kembali pada kondisi yang sama. Hal itu hanya tercatat pada lembaran-lembaran kertas yang menjadikannya sebagai sejarah belaka. Gerakan mahasiswa yang dulunya menjadi tumpuang masyarakat kini seakan lumpuh. Tak ada lagi idealisme yang bercokol dikepala para mahasiswa, mereka hanya mampu berteriak tapi gagal bertindak. Mahasiwa tidak lagi menjadi element penting dalam pembangunan, hal ini di­sebabkan banyaknya gerakan-gerakan yang menyimpang dan mengalami distorsi.


Masuk dalam Permainan Politik

Perubahan paradigma masyarakat terhadap stigma mahasiswa yang dizaman demokrasi ini, tentu tidak bisa disalahkan begitu saja. Realitasnya, gerakan mahasiwa saat ini cendrung anarkis. Mereka justru tampak lebih senang jika aksinya berujung bentrok hingga merusak segala fasilitas yang berada ditempat dimana suara besarnya diperdengarkan. Ironisnya, gerakan mahasiswa disinyalir banyak ditunggangi oleh orang-orang yang memilki kepen­tingan politik. Mahasiswa hanya dijadikan sebagai boneka untuk memuluskan langkah para politikus tersebut. Bodohnya lagi, mahasiswa sebetulnya mengetahui hal tersebut namun mereka tetap semangat dan mengikuti setiap intruksi yang dipe­rintahkan. Kesenangan mahasiswa untuk tetap berada dalam lingkaran pembodohan itu, bukan tanpa alasan. Iming-iming uang dan janji yang membuat mahasiswa tetap berada pada garis hitam itu.

Bukan tidak mungkin hal ini terjadi, apalagi sekarang terkhusus Sulawesi-Selatan sedang persiapan Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA). Tentu banyak calon memakai topeng dengan melakukan pendekatan berbagai wilayah lapisan masyarakat. Dan mayoritas mahasiswa dijadikan sebagai target utama sebab dianggap orang yang paling mampu membawa pengaruh besar terhadap perubahan sosial.Yakin dan pasti para calon yang akan maju dalam Pilkada, sudah me­nyiapkan berjuta senjata untuk menjadi winner dalam laga itu. Maka peluru utamanya adalah mahasiswa.

Mungkin saja, saat ini sejumlah mahasiswa diberbagai instansi belum menyadari secara jelas kasus ini. Tapi perlu diketahui, ini adalah bomerang bagi mahasiswa. Mereka akan masuk untuk menggerogoti setiap tubuh mahasiswa. Sehingga, bukan tidak mungkin integritas mahasiswa akan mati dan meruntuh. Mereka seakan-akan muncul sebagai pahlawan dan tak jarang berwujud sebagai orang yang dermawan. Kapita­lisme terhadap dunia pendidikan akan tetap tumbuh jika saja isu ini bergulir menjadi kenyataan. Walaupun, tak jarang pula para pemeran politik praktis itu sudah banyak yang membuat konstalasi tertentu dengan beberapa pihak kampus.

Kehidupan mahasiswa memang sa­ngat sulit untuk dihindari dari dunia politik. Politik ibarat benalu yang selalu berada pada tubuh setiap instansi yang memiliki rakyat yang mudah untuk dimasuki. Disinilah diperlukan daya kritis mahasiswa untuk menganalisis setiap gerakan-gerakan dari pojok luar. Karena, apabila kondisi ini tidak segera dicegat, maka jangan salahkan siapa-siapa, saat politik menular di ranah kampus.

Berbagai pendekatan politik yang ditempuh para politik saat ini tidak harus menghadirkan tokohnya untuk terjun langsung mendoktrin para mahasiswa untuk mengikuti misi dari politikus itu. Terkadang, para calon hanya mengirim koleganya untuk bekerja dibawah tanah Intelektual, untuk memengaruhi para penghuninya. Arena politik dalam dunia kampus, saat ini telah dimainkan oleh sejumlah aktor mahasiswa yang telah runtuh independensinya. Sementara sang politikus, tertawa dengan aksi licik yang dijalankannya, saat itu pula mahasiswa lambat laung akan menjadi tumbal ditengah pergulatan politik yang semakin memanas.

Apalagi kasus baru-baru ini, salah satu universitas di Makassar, terjadi kisruh antar mahasiswa yang satu atap, hanya karena menentang adanya pembentuk kampus III. Hal ini jelas, ada oknum yang coba menggulir wacana  yang menjadikan mahasiswa sebagai alatnya untuk kepentingan politik.


Gerakan dalam Tempurung

Tak hanya dunia politik yang saat ini menjangkit mahasiswa, namun gerakan mahasiswa yang hanya berada dalam kampus juga terancam mati. Sudah jarang terdengar nyanyian menyurakan aspirasi rakyat . Kondisi ini, nampak dibeberapa universitas yang ada di Makassar. Sejak beberapa bulan terakhir tak ada lagi aksi yang mempertaruhkan idealisme yang dianut.

Tentu saja, gambaran kondisi ini menindikasikan adanya ketakutan yang menyelimuti benak para aktivis kampus terhadap sejumlah ancaman-ancaman dari birokrasi. Apalagi, sudah banyak bukti yang diperlihatkan para petinggi kampus dalam menunaikan ancamannya. Fakta membuktikan, efek dari gerakan mahasiswa yang dinilai merugikan sejumlah pihak mendapat imbasnya. Kasus pencopotan status mahasiswa terhadap 19 mahasiswa Universitas Negeri Makassar (UNM) yang diduga bermula dari aksinya menolak Dana Penunjang Pendidikan (DPP), begitupula aksi yang dilakukan sekelompok mahasiswa dalam berbagai tuntutannya justru mendapat hadiah skorsing dan DO. Kasus ini menjadi salah satu contoh kecil betapa tajamnya taring birokrasi.
Potret lain, birokrasi seakan tuli, ketika sejumlah mahasiswanya berteriak didepan gedung jabatannya. Suara mahasiswa tidak lagi menjadi suara emas yang mampu merubah segala kebijakan kampus. Aksi mahasiswa tak bernilai lagi, kehadirannya hanya dianggap sebagai angin lalu yang tak membawa pengaruh terhadap tindakan-tindakan birokrasi. Bagaimana kiranya ketika mahasiswa hanya berteriak dalam tempurung, maka tak ada satupun orang lain yang peduli keberadaannya.

Cukup dengan Menulis

Wujud perlawanan mahasiswa dalam arus globalisasi yang ditandai dengan pesatnya perkembangan teknologi, tidak mesti diterjemahkan dalam bentuk demonstrasi. Mahasiswa harus mampu selektif dalam memilih metode perlawanan yang efektif. Agar kiranya eksistensi mahasiswa tidak meredup.

Ketika mulut dibungkam, maka jalan satu-satunya adalah menulis. Kalimat ini tampaknya perlu diaplikasikan, mahasiswa adalah kaum cendekia yang penuh keratifitas. Setidaknya, dengan menulis mahasiswa mampu memperlihatkan kegelisahannya dalam menghadapi sekelumit masalah dalam kacamatanya.

Apalagi, untuk membendung masuk­nya pengaruh politik dalam kampus, menulis juga menjadi alternatif paling baik. Me­nulis mampu mengalihkan pikiran seseorang untuk lebih acuh mengadapi pe­ngaruh-pengaruh negatif yang berbau politik. Bahkan, menulis bisa menjadi senjata paling ampuh untuk memusnahkan segala praktik manipolitik, cukup dengan menyerangnya lewat tulisan yang sekiranya mampu memberi daya tarik terhadap kerabat mahasiswa lainnya untuk menghindari hal itu.

Terlepas dari metode menulis, sekiranya integritas dan Independensi mahasiswa saat ini tidak mudah diruntuhkan oleh keadaan apapun yang menghadang­nya. Sebab ketika hal itu rusak, maka keberadaan mahasiswa tidak lagi sebagai pemegang tongkat estapet. Harapan bangsa pun akan sirna. 

Dikutip dari: Asri Ismail (Ketua Umum Himpunan Mahasiswa, Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UNM)