18 Desember 2012

Dosen vs Mahasiswa

“We’re all told at some point that we can no longer play the children’s game. We just don’t know when that’s gonna be. Some of us are told at 18, some of us are told at 40, but we’re all told. “

Sebagai mahasiswa, aku dulu sering berfikir betapa enaknya menjadi dosen. Tinggal dateng ke kelas, baca slide, ngasih tugas, suruh asdos ngoreksi, ngasih ujian, ngasih nilai. Mereka ga perlu ujian, ga perlu begadang ngejar deadline tugas. Mereka bisa datang siang, bisa makan siang sambil tertawa-tawa di ruang makan staf. They looked so relaxed. Makanya, waktu ada suatu seminar pasca kampus, pembicaranya nanya “ada yang mau jadi akademisi?”, aku segera ngacung, untuk kemudian sadar bahwa bila aku dihitung, tangan yang teracung cuma satu.

Memasuki dunia pasca kampus, aku bekerja sebagai dosen di almamater. Setelah satu semester, ada banyak pelajaran yang bisa diambil. Pelajaran paling mendasar adalah filosofi, tujuan, hakekat, menjadi dosen, maupun pendidik pada umumnya. 6,5 tahun menjadi mahasiswa, aku tau bahwa mahasiswa sangat mengharapkan nilai yang bagus, bangga bila punya IP tinggi, sehingga akan melakukan (hampir) apa saja untuk mendapatkan nilai bagus, kecuali mungkin belajar dengan giat. Pada akhir semester, ada beberapa mahasiswa yang meminta dibantu agar bisa lulus. Ada juga mahasiswa yang komplain nilai sedemikian bandelnya, sehingga membuat dosennya marah.

Siapa bilang menjadi dosen tidak sesibuk mahasiwa? (ngacung malu2)  Mungkin dua kali lebih sibuk. Mahasiswa harus mengerjakan tugas dan ujian, well sebenarnya tidak harus, bila tidak mau mengerjakan, efeknya hanya pada mahasiswa itu sendiri. Sementara dosen harus membuat soal tugas/ujian  (sebisa mungkin cukup deskriptif dan tidak ambigu), membuat solusi, dan mengoreksi semua berkas jawaban mahasiswa (bila tidak punya asdos). Soal tugas maupun ujian sebaiknya dikerjakan oleh dosen terlebih dahulu supaya tau bahwa soal tersebut bisa dikerjakan dan perintahnya cukup jelas. Mahasiswa boleh salah mengerjakan tugas, dosen tidak boleh salah mengerjakan solusi tugas, karena kalau itu terjadi, maka sama saja dengan menekan tombol kegemparan. Untuk suatu kuliah, aku membutuhkan lebih dari satu minggu untuk membuat soal tugas yang jelas dan bisa dikerjakan.

Sewaktu memeriksa UAS, aku cukup pemurah memberi nilai, because I know student will need good score very badly. Biasanya pada soal, seteliti apapun dosen membuatnya agar tidak ambigu, selalu saja ada beberapa perspektif. Misalnya untuk soal benar/salah, aku menyesuaikan dengan perspektif mahasiswa, apakah pada perspektif mereka, jawaban ini benar atau salah. Pada akhirnya aku tau, ternyata terlalu pemurah memberi nilai hanya akan menjadi bumerang bagi mahasiswa. Karena nilai adalah “sertifikat”, bahwa bila mereka lulus suatu mata kuliah, berarti mereka cukup mengerti tentang kuliah tersebut. Bila employer mereka melihat nilai A untuk kuliah Basdat, employer bisa memberikan tanggungjawab yang cukup besar bagi sarjana tersebut. Nilai tidak sekedar alfabet atau angka, itu adalah gambaran kompetensi.

Itulah perubahan paling besar pada semester pertamaku ini. Bahwa menjadi dosen, adalah untuk mendidik mahasiswa, memberi mereka ilmu. Tidak sekedar membaca slide dan pulang. Dosen harus memastikan sebisa mungkin nilai yang diberikan benar2 mencerminkan kemampuan mahasiswa. Inilah sebabnya nilai UAS, UTS, Kuis yang dikerjakan secara perorangan dan langsung dalam pengawasan, harusnya mendapat bobot paling besar, daripada tugas take home, yang tidak bisa dijamin bebas plagiarisme. Hal ini sering terjadi, dimana mahasiswa mendapat nilai bagus mengenai SQL tapi mereka tidak bisa mengerjakan soal ujian mengenai hal yang sama. Ada konsekuensinya tentu, diantaranya menjadi tidak populer.

Disamping itu, menjadi pekerja tentu saja berbeda daripada menjadi mahasiswa. We have to get along well with colleagues. At some point I realize that I have to stop playing children’s game. Dengan menjadi dosen, harus dipastikan bahwa solusi tugas, koreksi nilai, dan jawaban atas pertanyaan mahasiswa harus benar. We just can’t easily say “Ups, I was wrong, it happens to anyone”. Students will loose their trust and why they have to sit there, listening to crap that they aren’t sure whether it’s true or not? At 25, I was told, it’s just about time to stop playing children’s game.

0 komentar:

Posting Komentar